Demak sang saudara tua Jakarta


Bengkah.com - Kerajaan Demak dikenal dan berkembang sejak akhir abad ke-15, Darmawijaya dalam bukunya Kesultanan Islam Nusantara disebutkan Kerajaan Demak berkembang pada tahun 1478 M.  Raden Patah pendiri kerajaan Demak adalah putra dari Raja terakhir Kerajaan Majapahit Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi dengan putri Tionghoa dari Dinasti Ming yang bernama Sio Ban Ci. (Dr. Purwadi, The History of Javanese Kings).

Raden Patah memiliki nama kecil pangeran Jimbun. Pada masa mudanya, Raden Patah memperoleh pendidikan yang berlatar belakang bangsawan dan politik. Selama 20 tahun hidup di istana Adipati Palembang, Raden Patah memutuskan untuk kembali ke Majapahit bersama adiknya, Raden Kusen. Setibanya di Tuban, Raden Patah tinggal dan belajar di Ampel Denta, bersama para saudagar muslim. Di sana beliau juga mendapat dukungan dari utusan kaisar China, Laksamana Cheng Ho. Selain itu, Raden Patah juga mendalami agama Islam bersama dengan Sunan Giri, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat. Setelah dianggap lulus, Raden Patah dipercaya menjadi ulama dan membuat permukiman di Bintara. Di Bintara, Raden Patah mengubah hutan Bintara menjadi sebuah pesantren Glagahwangi. Seiring kemajuan pesantren dan agama Islam di sekitar Bintara, Raden Patah mengganti nama Glagahwangi menjadi Demak dengan ibu kota bernama Bintara.

Dalam buku A Historis of Modern Indonesia since 1200 karya MC Ricklesfs, Kerajaan Demak berkembang sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam di Jawa dengan peran para Walisongo dalam penyebaran Islam sangat besar. Pada msaa pemerintahan Raden Patah, dibangun Masjid Demak yang proses pembangunannya dibantu oleh para Wali. Sebagai raja pertama Kerajaan Demak, beliau menaklukan Kerajaan Majapahit dan memindahkan seluruh benda upacara dan pusaka Kerajaan Majapahit ke Demak.

Kerajaan Demak mencapai kejayaan ketiga dipimpin oleh raja ketiga yaitu Sultan Trenggana selama 1521-1546 M. Sultan Trenggana dikenal sebagai raja yang bijaksana. Dibawah kepemimpinanya Demak mencapai puncak kejayaan sebagai kerajaan Islam di Nusantara. Sultan Trenggana berjasa dalam penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di bawah kekuasaannya, Demak mulai menguasai Sunda Kelapa dan menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527). Selain itu, ia juga menguasai Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan.

 

Jayakarta, 1527 M

 

Pendudukan Portugis atas Malaka pada tahun 1511 serta kebijakan monopoli yang diterapkannya membuat aktifitas perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Islam di Malaka menjadi terganggu. Saat itu Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah merespon atas penaklukan atas Malaka dengan melakukan penyerangan ke Malaka yang dipimpin oleh Pati Unus. Selain sebagai bentuk solidaritas, serangan yang dilakukan oleh Kerajaan Demak ke Malaka juga dimaksudkan untuk menghambat niatan tersembunyi Portugis  untuk menguasai Pulau Jawa.

Portugis yang mengincar Pulau Jawa dengan terlebih dahulu menguasai Sunda Kelapa, begitu juga Kerajaan Demak yang ingin menguasai pelabuhan itu. Portugis dan Kerajaan Demak kemudian menyusun rencana untuk segera menduduki Sunda Kelapa. Pada tahu 1526, Alfonso d’Albuquerque mengirim enam kapal perang di bawah pimpinan Francisco de Sa menuju Sunda Kelapa. Kapal yang dikirim adalah jenis Galleon yang berbobot hingga 800 ton dan dilengkapi oleh 21-24 pucuk meriam. Armada Portugis yang berangkat dari Malaka diperkirakan membawa prajurit bersenjata lengkap sebanyak 600 orang.

Pada tahun yang sama, Sultan Trenggana dari Kerajaan Demak mengirimkan 20 kapal perang bersama 1500 prajurit di bawah pimpian Fatahillah menuju Sunda Kelapa. Armada perang Kerajaan Demak terdiri dari kapal tradisional jenis lancaran dan Pangajawa yang ukurannya jauh lebih kecil dari Galleon. Kapal-kapal Kerajaan Demak ini digerakkan oleh layar dan dayung serta dilengkapi paling banyak 8 pucuk meriam buatan lokal yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis. (Ekadjati, Fatahillah: Pahlawan Arif Bijaksana).

Langkah strategi yang lakukan Fatahillah adalah dengan membangun kekuatan besar dengan melakukan hubungan dengan Kesultanan Cirebon yang memang sudah memiliki ikatan yang erat dengan Demak, yaitu salah satunya dengan sosok Sunan Gunung Jati, Walisongo. Setelah Cirebon menggabungkan diri dengan pasukan Demak yang akan menggempur Sunda Kelapa dan menahan Portugis, gabungan pasukan Cirebon dan Demak tidak langsung mendarat di Sunda Kelapa. Fatahillah memimpin pasukan ke barat untuk menaklukan kerajaan Banten yang masih masuk dalam wilayah administratif Kerajaan Padjajaran akan tetapi tidak diperkuat dan dipertahankan oleh pasukan Padjajaran, Fatahillah melihat itu sebagai suatu kelemahan yang bisa ditembus dan ditaklukan. Pada tahun 1526 M Wilayah Banten dapat dikuasai oleh Demak dan Cirebon dengan penguasa Banten kemudian dipegang oleh Maulana Hasanudin, tokoh penyebar agama Islam dari Cirebon.

Tahun 1527 M pasukan Demak, Cirebon dan Banten mulai bergerak ke Sunda Kelapa. Pasukan Banten secara bertahap mulai menguasai kerajaan Padjajaran dari sisi barat, sedangkan pasukan Cirebon menguasai dan menyerbu wilayah dari sisi timur. Kerajaan Padjajaran yang dipimpin oleh Sri Baduga Maharaja berusaha mempertahankan wilayah Sunda Kelapa dengan sekuat tenaga baik dari darat dan laut. Armada Kapal Fatahillah mulai masuk wilayah perairan Sunda Kelapa pada Febuari 1527 M dan dihadang oleh armada kapal kerajaan Padjajaran.

Sebelumnya kerajaan Padjajaran sudah membuat perjanjian kerjasama yang disebut perjanjian Padrao untuk membangun loji (kawasan perkantoran, perumahan dan benteng di Sunda Kelapa) dengan pihak Portugis pada tahun 1522 M, dalam perjanjian tersebut Portugis akan memberikan kebutuhan yang diperlukan oleh Sunda Kelapa dan sebagai balas persahabatan Raja Padjdjaran Sri Baduga Maharaja akan memberikan 1000 keranjang lada kepada Portugis. Dengan kata lain, Sunda Kelapa memang berada di wilayah Kerajaan Pajajaran dan kerajaan tersebut bermaksud mengundang Portugis demi mengamankan eksistensinya atas apriori terhadap perkembangan Islam di pulau Jawa. Sedangkan, dalam sudut pandang Kerajaan Demak yang dipimpin Sultan Trenggana dan Fatahillah yang di utus memimpin pasukan ke Sunda Kelapa menganggap bahwa kehadiran Portugis di Sunda Kelapa adalah ancaman regional terhadap seluruh kerajaan di Nusantara, khususnya pulau Jawa.

Pada pertempuran antara pasukan Demak Kerajaan Padjajaran pada bulan Febuari 1527 tersebut dapat dimenangkan oleh pasukan Demak sehingga, Sunda kelapa dapat dikuasai oleh pasukan dari Demak. Pada bulan Juni 1527 pasukan armada kapal Portugis yang dipimpin oleh Fransisco de Sa telah sampai di pelabuhan Sunda Kelapa dan mengutus perwakilan untuk menemui penguasa Padjajaran. Portugis belum mengetahui bahwa Sunda Kelapa sudah jatuh ke tangan Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Fatahillah.

Portugis tersebut menagih janji atas perjanjian tahun 1521 M yang telah disepakati dengan Padjajaran. Fatahillah menolak keras permintaan Portugis dan tidak takut dengan ancama Portugis yang akan membumi hanguskan tanah Sunda Kelapa. Pertempuran darat antara Portugis dengan Demak tidak bisa dihindarkan. Dalam pertempurat darat tersebut pasukan Demak mampu memukul mundur Portugis untuk kembali ke kapal-kapal Galleon mereka. (Rachmad Abdullah, Kerajaan Islam Demak: Api Islam di Tanah Jawa 1518-1549M)

Pertempuran berlanjut ke pertempuran laut, Fatahillah mencoba menahan kapal-kapal armada perang untuk tetap bertempur di pantai. Karena jika bertempur di laut terbuka ada kemungkinan akan mengalami kegagalan karena kapal-kapal Demak kalah canggih dibanding armada Portugis termasuk jangkauan meriam yang tidak sejauh Portugis. Pasukan Demak lebih lincah dalam pertempuran pantai dan berhasil menenggelamkan dua kapal Portugis yang membuat empat kapal lainnya tidak berani untuk menyerang pasukan Demak. melihat kondisi pasukan perangnya yang tidak mampu mengimbangi Demak, pada 22 juni 2527 Fransisco de Sa memutuskan menarik pasukan kembali ke Malaka.

Kemenangan Fatahillah yang mampu menahan pasukan Portugis masuk Sunda Kelapa, dengan kemenangan tersebut Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi “Jayakarta” yang berarti kemenangan mutlak pada tanggal 22 Juni 1527. Momentum kemenangan inilah yang pada akhirnya dipercaya sebagai dasar hari jadi kota Jakarta, jatuh pada 22 Juni.

Melihat bukti catatan-catatan sejarah yang sangat jelas dari berbagai sumber. Maka sudah selayaknya jika Demak disebut sebagai saudara tua dari Jakarta yang pada akhirnya menjadi ibu kota Negara Indonesia. Demak dan Ibu Kota Jakarta memiliki hubungan historis yang sangat kuat yang harus terus di catat. Demak adalah kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, epicentrum penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa.

Dengan segala kejayaan, kekuatan dan kemasyuran Demak dimasa lampau. Seharusnya kita bisa membuat Demak kembali berjaya. “Make Demak Great Again” penulis mencoba mengutip slogan kampanye dari Ronald Reagan pada 1980 dimana tahun 1979 ekonomi Amerika sedang mengalami stagflasi dimana inflasi dan kontraksi terjadi bersama. Kampanye Reagan tersebut bermaksud membangkitkan semangat masyarakat Amerika untuk keluar dari kondisi tersebut. Sekali lagi “Make Demak Great Again”.

 

(dikembangkan dari berbagai sumber)

-----------------------

Aditya D. Sugiarso

-       Warga Wonosekar, Karangawen, Demak.

-       Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Manajemen - USM

 


0 Response to "Demak sang saudara tua Jakarta"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel